ANDA PENGUNJUNG KE:

Kamis, 18 Februari 2016

MBAH DULLAH

Berkenaan dengan haul Simbah KH. Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25 Sya’ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

MBAH DULLAH

Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.

SubhanaLlah! Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!

Sepanjang perjalanan itu pun saya terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.

Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.

Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.

Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.

Ketika beliau masih menjadi pengurus (Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.

Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.
Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.

Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.

Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arog

Sumber : http://www.gusmus.net/?p=15

0 komentar:

Posting Komentar